journalpesantren.com Dr Jaenullah M,Pd .Bulan Ramadan adalah bulan madrasah yang selalu dinantikan setiap muslim dalam rangka untuk menempa dan mengisi kembali jiwa yang dirasa kering dan gersang. Ibarat musafir yang sedang kehausan mencari sumber air di tengah tandusnya gurun, Bulan Ramadan juga merupakan telaga yang akan melepaskan dahaga sang musafir.
Ramadan adalah telaga bagi mukmin di seluruh dunia. Salah satu ibadah terpenting dan menjadi penciri utama bulan Ramadan adalah puasa wajib. Setiap orang beriman diperintahkan melaksanakan puasa selama sebulan penuh, kecuali golongan tertentu yang karena berhalangan diberi keringanan untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan.
Dalam tinjauan ilmu fiqih, makna puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari dengan niat ibadah kepada Allah Swt. Dari kacamata ilmu fiqih makna puasa di atas diterima sebagai ukuran formal seseorang disebut puasa. Karena memang ilmu fiqih menjelaskan aturan formal yang mudah diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Ciri aturan fiqih bersifat operasional formal yang dengan mudah bisa dijadikan ukuran. Sama dengan ketika kita bertanya tentang sholat, maka fiqih menjawah ” Sholat adalah suatu ibadah yang dimulai dengan salam, yang didalamnya ada bacaan dan gerakan tertentu sesuai syariat islam”. Jika ada seseorang bertanya kepada anda apakah hari ini anda puasa? Maka kita akan menjawabnya secara hukum formal dalam fiqih. Mungkin kita menjawab “Ya saya hari ini sedang puasa ” Mengapa kita menjawab seperti itu? Karena kita menggunakan acuan standar formal dalam bidang fiqih bahwa saat kita menahan diri dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari, berarti kita telah berpuasa.
Dan pada hari itu anda berniat untuk melakukan aturan-aturan formal fiqih. Begitu saat anda ditanya, apakah sudah sholat?Kita akan menjawab sesuai standar aturan formal fiqih. Namun apakah benar bahwa jika sudah melakukan aturan formal fiqih seperti di atas sudah bisa disebut puasa? Ternyata dalam tataran selanjutnya, apa yang sudah kita lakukan dalam standar fiqih, belum tentu disebut puasa. Bahkan Nabi Muhammad SAW dengan tegas menjelaskannya dalam sebuah hadits yang terkenal ” Berapa banyak orang yang berpuasa, akan tetapi tidak ada puasanya baginya kecuali lapar dan haus.” ( HR Bukhori dan Muslim). Artinya, banyak orang yang berpuasa secara formal tetapi oleh nabi disebutkan belum sampai pada makna puasa yang sebenarnya, baginya hanya haus dan lapar.
Apa makna hadits tersebut? Seseorang tidak cukup hanya berpuasa sesuai standar formal fiqih saja, untuk mencapai makna puasa yang sebenarnya, ada banyak aspek yang perlu diraih untuk meningkatkan diri dari puasa formal fiqih ke puasa yang sejati. Mengapa demikian? Karena dalam ibadah selain ada ilmu fiqih, masih ada ilmu-ilmu lain yang perlu kita diketahui bersama dalam rangka untuk meningkatkan kualitas ibadah puasa kita. Ada korelasi atau hubungan antara ilmu fiqih dengan ilmu akhlaq. Seperti hubungan puasa dengan sikap pribadi seseorang atau juga dimensi hubungan antara sholat dengan sikap seorang muslim untuk peduli sekitarnya dengan membantu orang miskin dan anak yatim. Kita menyebutkannya dengan ilmu akhlaq. Seseorang yang sah puasanya menurut tinjauan fiqih belum tentu sah juga menurut ilmu akhlaq. Jadi wajar kalau nabi SAW bersabda ” Berapa banyak orang berpuasa, akan tetapi tidak ada puasa baginya kecuali lapar dan haus.” Orang tersebut sah puasa menurut fiqih tetapi belum sah dalam perspektif ilmu akhlaq.
Lalu bagaimana kita melihat puasa dalam perspektif akhlaq? Dalam perspektif ilmu akhlaq puasa adalah titian menuju perbaikan akhlaq, jika seserang berpuasa ia berdusta, maka dusta itu akan merusak puasanya. Jika seseorang berpuasa, tetapi belum bisa menahan diri dari berkata-kata kasar kepada orang lain, maka puasanya telah rusak. Sehingga puasanya tidak bisa disebut puasa lagi. Karena puasanya hanya formalitas saja, bukan puasa dalam makna yang lebih substantif (berkualitas). Oleh Karena itu, berpuasa secara akhlaq akan melahirkan sikap rendah hati (tawadhu’), sebagaimana hadits qudsi yang terkenal ” Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman ” Kecuali amalan puasa, amalan puasa adalah untukku. Aku sendiri yang akan membalasnya.” ( HR Bukhori dan Muslim). Puasa itu menjadi sangat personal, menjadi hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita dengan Allah itu baik, jika hubungan kita dengan sesama makhluq juga baik.
Inilah langkah jalan yang harus ditempuh oleh setiap muslim agar puasanya menjadikan lebih bermakna (berkualitas). Oleh karena itu kita harus berjuang dari puasa sekedar sesuai standar fiqih ke standar akhlaq dan semoga Allah memudahkan setiap langkah ibadah puasa kita. Aamiin,(Dr Jaenullah M,Pd ,kaprodi Pascasarjana IAIMNU METRO.