Journalpesantren.com Badan Pembinaan Ideologi Pancasila belakangan ini ramai diperbincangkan jagad maya, bukan karena deretan prestasi dan buah pikirnya. Tetapi disebabkan kegaduhan akibat wacana pelarangan jilbab kepada paskibraka pengibar bendera merah putih pada hari kemerdekaan 17 Agustus 2024. Muncul dugaan banyak pihak bahwa BPIP dianggap diskriminatif, meski sudah mengelak dengan alasan keseragaman dan pengibar bendera sudah bertanda tangan di atas meterai. Tetapi polemik ini jelas menggambarkan BPIP kurang memahami sensivitas isu keberagaman dan keagaman yang ada di masyarakat.
Kondisi BPIP, dulu bernama PIP memang sungguh unik dan berbeda dengan BP7 yang pernah muncul di masa Orde Baru. Selain jurnal bertema Pancasila, hampir bisa dikatakan lembaga ini minim sekali buah pikir yang bisa jadi acuan masyarakat Indonesia dan layak diapresiasi masyarakat secara luas. Secara umum kegiatan memasyarakatkan Pancasila juga mirip sekali dengan lembaga kenegaraan lainnya, sehingga layak kita bertanya apa gagasan besar yang ingin dibawa BPIP dalam memasyarakatkan, memajukan dan mendorong Pancasila agar tetap menjadi pedoman bernegara bangsa Indonesia?
Di tengah zaman yang digitalisasi, sebenarnya BPIP mempunyai tugas berat dari sisi akademis dan praktis. Sisi akademis, BPIP perlu mendorong secara responsif terhadap fenomena zaman sebagai efek samping dari digitalisasi dan mengkonsep naskah akademis yang relevan dengan perkembangan zaman bersama mitra strategis. Misalnya bagaimana BPIP mengkaryakan urgensi identitas nasional, wawasan nusantara, globalisasi, pengakuan terhadap nilai HAM universal dalam sebuah naskah akademis dengan pendekatan kekinian yang sesuai dengan kebutuhan zaman digital untuk ditawarkan kepada masyarakat dan parlemen. Sebab kita melihat paska konsepsional UU HIP yang ditolak masyarakat, BPIP tak terlihat lagi memberikan buah pikir kepada negara dalam sebuah naskah rancangan akademis.
Secara taktis operasional, BPIP harus mampu menggandeng banyak mitra strategis dengan menjawab pertanyaan apa persepsi dan kebutuhan generasi sekarang agar ideologi Pancasila mampu tampil dalam kepribadian anak bangsa di tengah berbagai turbulensi dan tantangan zaman yang makin kompleks. Misalnya bagaimana BPIP merawat pengalaman dan pikiran besar para veteran perang, pensiunan TNI, kalangan agamawan, dan unsur masyarakat dalam sebuah film yang dikombinasikan dengan rasa ingin tahu anak muda terhadap Pancasila dan sejarah bangsa Indonesia. Film kemudian diviralkan di berbagai media sosial dalam potongan kecil sehingga menjadi kreasi yang menarik. Mengapa dua kelompok (orang tua dank muda) itu dipertemukan? Sebab para orang tua harus diakui banyak pengetahuan dan pengalaman hidup bela negara dan itu dibutuhkan anak muda, sedangkan tanggung jawab itu bisa dimaksimalkan BPIP sebagai lembaga yang diamanatkan sebagai benteng dan penjaga ideologi Pancasila.
Di tengah perubahan zaman yang semakin dilanda ketidakpastian, sudah waktunya BPIP memancing gagasan baru dan memperbanyak kemitraan bersama masyarakat dan menyatukan alam pikiran dan kebatinan masyarakat dari kelompok tua yang kaya pengalaman dan pengetahuan bernegara dan anak muda sebagai insan kreatif yang kelak akan meneruskan takdir sejarah bangsa Indonesia. Di masa lalu terlepas kontroversinya, ada kebijakan P4 yang sangat bermanfaat sebagai benteng mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa, maka tuntutan sekarang paska UU HIP yang batal jadi kebijakan, adakah gagasan naskah akademis yang relevan dengan zaman dari BPIP? Sementara secara praktis, BPIP selayaknya mampu merancang dan menjalankan program yang berbeda dengan kementerian atau lembaga lainnya yang berangkat dari analisis kebutuhan generasi muda dan masyarakat Indonesia secara umumnya. Sudah bukan waktunya BPIP disibukkan membuat wacana dan kebijakan kontraproduktif yang menciptakan gejolak publik semata. Sebagai insan Pancasila, sungguh kita menantikan buah karya dan kebijakan BPIP yang kelak akan mampu dibanggakan generasi masa depan Indonesia. ( JP )