journalpesantren.com Sebuah perkataan bijak mengatakan “Di balik kesuksesan seorang laki-laki pasti ada perempuan hebat di sampingnya” Sebuah kalimat pendek ini kembali terdengar siang ini, ketika seorang kawan bercerita pentingnya peran perempuan dalam kehidupan seorang laki-laki, khususnya dalam budaya Jawa. Menurutnya seorang pemimpin akan sukses ketika rumah tangga harmonis dan disertai perempuan tangguh yang siap menemani dengan kesetiaan selama menjalani suka duka kehidupan, tanpa itu maka sulit dia disebut sebagai pemimpin apalagi jika ingin memimpin banyak orang seperti pemimpin negara. Sebab memimpin jutaan rakyat Indonesia harus dimulai dengan keberhasilan memimpin dirinya sendiri, keluarganya, masyarakat kemudian bangsa dan negaranya. Sejarah kepemimpinan di Indonesia membuktikan bagaimana pada umumnya kejatuhan atau kemunduran seorang pemimpin dari pentas perpolitikan nasional akan hadir setelah wanita di sampingnya pergi meninggalkan dirinya untuk bertemu Tuhannya atau menjalani kehidupan yang berbeda dengan pemimpin tersebut.
Founding fathers Indonesia, Soekarno adalah sosok pemimpin Indonesia dengan kecakapan retorika dan negoisasi berkelas dunia yang sangat membutuhkan wanita di sampingnya. Dalam catatan sejarah, Bung Karno pernah menulis buku Sarinah yang menggambarkan pentingnya peran perempuan dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan Bung Karno juga pernah menikahi sembilan orang wanita dalam hidupnya (asumsi.co, 2021), dimana ada dua nama wanita yang cukup berkesan di mata masyarakat Indonesia yaitu Inggit Garnasih dan Fatmawati. Inggit adalah sosok wanita yang berperan penting pada masa awal kehidupan Soekarno dalam dunia pergerakan nasional mulai dari ikut membiayai kuliah, mendukung aktivitas politik, dan menemani dengan setia ketika Soekarno menjalani masa sulit di dalam penjara akibat perjuangan politiknya di mada revolusi kemerdekaan. Fatmawati dikenal sebagai sosok wanita Muhammadiyah sekaligus penjahit bendera merah putih dan ibu negara pertama Indonesia yang banyak mendukung Soekarno dalam pergolakan dan peperangan dalam mencapai kemerdekaan Indonesia (Fatoni, 2022) dimana Bung Karno dan Fatmawati melahirkan lima anak yang cukup sukses meneruskan perjuangan Soekarno dalam dunia perpolitikan nasional.
Tak jauh berbeda, Soeharto adalah sosok pemimpin nasional yang mendapatkan dukungan Siti Hartinah (Bu Tien) sejak awal karir militer dan politiknya hingga menjadi presiden kedua Republik Indonesia. Kecintaan Soeharto kepada istrinya sangat besar sehingga ketika banyak pihak menentangnya, tak sedikitpun Soeharto gentar membela pandangan Bu Tien yang ingin membangun Taman Mini Indonesia Indah, sebuah karya legendaris yang mengingatkan kita akan miniatur Indonesia. Ketika Soeharto lengser keprabon, keduanya menghabiskan banyak waktu senja di TMII, hingga kabar kesedihan mendalam itu datang dan Ibu Tien meninggal dunia (kompas.com, 2022). Selepas itu Pak Harto masih sering mengunjungi TMII untuk mengingat kesetiaan, kisah asmara dan cinta kasih sosok yang rutin mendampinginya dalam berbagai fase kehidupan. Kesedihan mendalam dirasakan the smilling general karena kehilangan pendamping hidupnya selama puluhan tahun, tapi Pak Harto tetap tegar, tenang dan tabah (Sutanto, 2015)
Habibie dan Ainun adalah kisah cinta sejati dua manusia yang mengharu biru perasaan dan mengaduk-aduk emosional bangsa Indonesia. Ainun sejak awal menikah selalu setia mendampingi perjalanan karir intelektual sampai kepemimpinan nasional, Habibie memiliki mimpi menciptakan lapangan kerja dengan industri dirgantara, Ainun mendukung kerja Habie dengan ucapan “Saya mau menyehatkan rakyat sebab orang yang sehat bisa bekerja di tempat kamu” (Noer, 2016) Masa sulit dengan biaya penghasilan terbatas djjalani keduanya selama hidup di Jerman kemudian tinggal di Indonesia untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, hingga Ainun divonis sakit jantung dan meninggalkan Habibie sendirian menjalani sisa kehidupannya. Selama sakit sampai meninggal dunia, kecintaan Habibie kepada Ainun tidak sedikitpun luntur, bahkan setelah Ainun meninggal setiap hari selama 100 hari pertama, Habibie rutin berziarah ke makam sang istri di Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk mengganti bunga yang mulai layu di atas makam Ainun (Perwitasari, 2021) Habibie pernah berkata “Antara saya dan Ainun, adalah dua raga namun dalam satu jiwa. Walaupun raga telah terpisahkan oleh kematian, namun cinta sejati tetap akan tersimpan secara abadi di relung hati. Ainun, saya sangat mencintaimu. Tapi Allah lebih mencintaimu, sehingga saya merelakan kamu pergi.”Inggar Saputra DPP Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia, ( journal P ).