Jurnalpesantren.com,Jakarta – “Perbuatan bakti itu dimulai dari kesusilaan; perilaku dan tutur kata yang beradab. Untuk menyukat adab ini, dapat ditakar bagaimana seseorang memperlakukan kedua orang tuanya dan para leluhurnya”_ – *Eddie Karsito*
Komitmen semua pemangku kepentingan dibutuhkan untuk melindungi, dan mengelola berbagai situs warisan budaya. Komitmen tersebut sebagaimana tercantum di Konvensi Warisan Dunia 1972 oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
“Konvensi tersebut mendorong adanya identifikasi, perlindungan, dan pelestarian warisan budaya yang dianggap memiliki nilai bagi kemanusiaan,” ujar *Eddie Karsito* pada acara renungan Hari Sumpah Pemuda 2023 dan Hari Ulang Tahun Ke-6 Rumah Budaya Satu-Satu (RBSS), di Perumahan Kranggan Permai, Jatisampurna, Kota Bekasi, Sabtu (28/10/2023).
Pada momentum renungan Hari Sumpah Pemuda 2023 dan HUT Ke-6 RBSS ini, Eddie Karsito mengajak kaum muda mau mempelajari beberapa aspek dari berbagai tapakan warisan yang dilestarikan karena nilai budayanya.
“Peninggalan sejarah tak boleh diabaikan. Sebab tak hanya sebagai identitas atau kepentingan ilmu pengetahuan. Tapi juga sebagai pengingat, bahwa tempat ini punya sejarah panjang yang tak ternilai,” ujar penggiat sosial, seni dan budaya ini.
Sebagai contoh, ungkap Eddie, di Kecamatan Jatisampurna Kota Bekasi banyak situs-situs penting sebagai tonggak sejarah identitas masyarakat di wilayah ini. Diantaranya berupa makam-makam _‘karuhun’_ yang hingga kini terus dirawat dengan baik oleh para pewarisnya.
Eddie menyebut sejumlah petilasan yang ada di Kecamatan Jatisampurna. Diantaranya makam Sultan Awliya Ipin (Saipin), dan Pasarean Kebon Gandaria, di Kelurahan Jatirangga, serta Makam Mbah Raden, di Kelurahan Jatiraden.
Kraton Pasarean Selamiring Embah Uyut Kranggan, dan makam mbah Priadi Jaya Sampurna, mbah Raden Mas Wajah, dan aki Sajian, di petilasan Tarikolot, Kelurahan Jatisampurna Kota Bekasi.
“Mbah Priadi Jaya Sampurna, mbah Raden Mas Wajah, dan aki Sajian, adalah tokoh berpengaruh pada masanya dalam hal kehidupan sosial budaya, maupun dalam penyebaran agama Islam,” terang Ketua Umum Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan ini.
Masyarakat banyak yang tidak tahu, kata Eddie, bahwa Mbah Priadi Jaya Sampurna, dan mbah Raden Mas Wajah, keduanya adalah Awliya; Walijah asal Cirebon yang ikut menyebarkan ajaran Islam di Nusantara.
Mbah Raden Mas Wajah, atau dikenal juga sebagai mbah Sempak Wajah Penatagama memiliki nama asli Syeh Nur Alif.
Sementara aki Sajian adalah penduduk asli di kawasan yang kini disebut Kampung Kranggan, Jatikarya, Jatisampurna. Beliau merupakan pemuka masyarakat yang mewakafkan tanahnya kini dikenal sebagai makam Tarikolot.
Syiar Islam mbah Priadi Jaya Sampurna, dan mbah Raden Mas Wajah di wilayah ini diperkirakan sekitar 450 tahun lalu. Pada masa awal perkembangan Islam di Cirebon yang disyiarkan Maulana Idhofi Mahdi atau yang dikenal Syekh Nurjati.
Syekh Nurjati merupakan guru dari Syekh Siti Jenar, dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Banyak tokoh masyhur belajar kepadanya. Sehingga kemudian Syekh Nurjati kerap disebut guru para wali.
*Dakwah Islam di Jatisampurna Tempo Dulu*
Beberapa tempat yang pernah menjadi lintasan dakwah mbah Priadi Jaya Sampurna dan mbah Raden Mas Wajah, dikenal dengan nama ‘Jati’ hingga saat ini.
Seperti nama daerah Jatibening, Jatibening Baru, Jaticempaka, Jatimakmur, dan Jatiwaringin di Kecamatan Pondok Gede.
Selanjutnya Jatimelati, Jatimurni, Jatirahayu, dan Jatiwarna, di Kecamatan Pondok Melati. Kemudian Jatiasih, Jatikramat, Jatiluhur, Jatimekar, Jatirasa, dan Jatisari, di Kecamatan Jatiasih.
Ada juga nama daerah Jatikarya, Jatiraden, Jatirangga, Jatiranggon, dan Jatisampurna, di Kecamatan Jatisampurna.
Daerah-daerah inilah dulu diyakini menjadi lintasan mbah Priadi Jaya Sampurna, dan mbah Raden Mas Wajah menyebarkan risalah Islam hingga diberi nama ‘Jati.’
Menyematkan nama ‘Jati’ di sejumlah wilayah tersebut menjadi semacam strategi dakwah untuk menengarai basis dakwah kedua ulama asal Gunung “Jati” Cirebon ini.
Maka daerah “Jati” Sampurna ini diyakini menjadi daerah paling akhir tugas dakwah mbah Priadi Jaya Sampurna, dan mbah Raden Mas Wajah yang dinilai paripurna; sempurna.
Sehingga nama daerah ini disebut Jatisampurna dimana kedua Awliya ini dimakamkan di daerah ini, tepatnya di pemakaman Tarikolot Jatisampurna.
*Orang Mati Tetap Dihargai*
Menghargai dan menghormati para leluhur inilah, kata Eddie Karsito, yang secara turun-temurun diajarkan para keluarga masyarakat di Jatisampurna ini.
“Perbuatan bakti itu dimulai dari kesusilaan; perilaku dan tutur katanya yang beradab. Untuk menyukat adab ini, dapat ditakar bagaimana seseorang memperlakukan kedua orang tuanya, dan para leluhurnya,” ungkap Eddie.
Masyarakat adat di Jatisampurna ini meyakini hidup adalah takdir. Semua makhluk pasti mati; pupus; _mulih ka rohmatulloh._ Mati dan hidup adalah jalannya alam. Kematian dan kehidupan ada dalam satu tubuh.
Kematian lebih dianggap sebagai ‘berpindah alam.’ Melemahnya tubuh dan kembali ke alam (tanah). Sementara roh dalam keabadian terus dikenang karena jasa, dan perilaku yang baik.
Itu sebabnya bagi masyarakat di Kampung Karanggaan (Jatisampurna), orang yang telah mati tetap dihormati. Orang yang telah mati diyakini masih memiliki keterkaitan dengan yang masih hidup.
“Ini sejalan dengan prinsip ajaran Islam; janganlah mengira orang-orang itu mati, mereka hidup di sisi Tuhan dan mendapat rezeki,” ujar penggiat budaya lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA) Islam ini.
Oleh karena itu, harapan Eddie, Sumpah Pemuda harus menjadi spirit untuk menjaga Indonesia yang multikultur. Seperti ikut menjaga situs-situs, dan merawat berbagai potensi kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakat.
“Nasionalisme; cinta tanah air, tidak mungkin lahir tanpa mengenali latar belakang kehidupan bangsanya, dari mana, mau apa, dan akan ke mana. Nasionalisme lahir dari tradisi; kebiasaan yang kemudian membentuk jati diri,” ujar penggiat budaya yang pernah menjadi Anggota Delegasi Sidang _Non-Governmental Organization (NGO) 7th General Assembly_ UNESCO-PBB, dalam rangka pelestarian Wayang sebagai warisan budaya mahakarya dunia, _Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity_ UNESCO, di Paris Prancis tahun 2018 ini.
Oleh karena itu acara renungan Hari Sumpah Pemuda ini, lanjut Eddie, merupakan upaya pendokumentasian, dan observasi partisipan dengan pendekatan antropologis.
“Mengenali karakter masyarakat melalui nilai-nilai kearifan lokal. Termasuk mengenali latar belakang nenek moyang bangsa ini yang sangat kental jiwa kebersamaan, kerukunan, persatuan, tradisi gotong royong, jiwa sopan santun, dan lain sebagainya,” ujar penerima penghargaan Anugerah ‘Anak Bangsa Berkepribadian Pembangunan 2013’ dari Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia ini.
Menjaga situs-situs, dan merawat berbagai potensi kearifan lokal, menurut Eddie, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Minimal ada ketertarikan dan mau mempelajari budaya tersebut.
“Ikut berpartisipasi apabila ada kegiatan dalam rangka pelestarian kebudayaan. Mengajarkan nilai-nilai yang ada pada kebudayaan itu kepada generasi muda. Mencintai budaya sendiri tanpa merendahkan atau melecehkan budaya orang lain,” ujar Pengurus Bidang Film Dewan Pimpinan Pusat Komite Seni Budaya Nusantara (DPP-KSBN) ini.
Situs-situs berupa makam menjadi perhatian bagi penggiat budaya yang tergabung di RBSS Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan. Mengingat lembaga ini lahir, tumbuh dan terus berproses di Kelurahan Jatisampurna Kecamatan Jatisampurna Kota Bekasi ini.
Selama sebulan, sejak 28 September hingga 28 Oktober 2023, Pengurus Rumah Budaya Satu-Satu (RBSS) Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan telah melakukan penyigian ke sejumlah makam tua.
Tapak tilas ini diwakili *Eddie Karsito* (Pendiri dan Ketua Umum), didampingi *Ari Susandi* (Ketua Dewan Pengawas), dan *Indri Retno Putranti* (Fasilitator Bidang Pendidikan).
*Menguatkan Falsafah Bhinneka Tunggal Ika*
Peringatan Hari Sumpah Pemuda 1928 – 2023 ini, sekaligus menandai hari lahirnya Rumah Budaya Satu-Satu (RBSS) yang dideklarasikan para seniman, budayawan, tokoh adat, tokoh masyarakat, pejabat, birokrat, dan pemerhati masalah sosial budaya, di bawah naungan Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan, sejak 28 Oktober 2017 lalu.
Berdirinya Rumah Budaya Satu-Satu (RBSS) pada intinya adalah untuk memperjuangkan hak hidup dan berkembangnya budaya tanah air yang mengandung nilai-nilai luhur, dengan penuh solidaritas.
Menguatkan falsafah “Bhinneka Tunggal Ika” berdasarkan pada kesadaran asal usul bangsa Indonesia, berasal dari berbagai ras dunia, dan berevolusi menjadi suku-suku yang membentuk bangsa Indonesia.
Membangun budaya Indonesia menuju perubahan, pencerahan, berperikemanusiaan, penuh solidaritas, berkeadilan, yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal.
Mendorong pengarusutamaan kebudayaan dalam pembangunan dengan menempatkan pertimbangan kebudayaan menjadi hulu dari keseluruhan proses pembangunan./*
(Kelana Peterson)