journalpesantren.com Perkembangan globalisasi ditandai dunia yang berubah karena teknologi dalam mengatasi sekat ruang, jarak dan waktu. Kita menghadapi serbuan gelombang digital yang memaksa manusia semakin terjebak anonimitas dalam interaksi media sosial. Setiap orang bebas berkomentar termasuk komentar negatif, nyinyir dan menebarkan ujaran kebencian. Mereka menganggap informasi sebagai sampah kebebasan sehingga berhak menghakimi dan merusak reputasi seseorang sebagai bentuk sanksi sosial. Hukuman sosial diberlakukan secara kejam dengan tudingan dan prasangka negatif. Ruang pembelaan seperti ditutup karena netizen seolah menjadi hakim yang sempurna. Mereka menciptakan ruang anti sosial, mendorong perundungan, mendukung kekerasan verbal dan merubah media sosial menjadi sampah kata-kata tanpa memikirkan dampak psikologis atas komentar yang diucapkannya.
Tak berhenti menciptakan ujaran kebencian dengan komentar negatif, ruang intoleransi secara luas seperti manusia tak berbudaya. Kita kehilangan akar budaya manusia Indonesia yang ramah, bertoleransi tinggi dan mendukung budaya harmoni. Efek buruk digitalisasi membuat manusia kehilangan intelektualitasnya demi mendukung pendapatnya paling benar. Tak jarang, efek samping pertengkaran media sosial terbawa dalam pertemuan fisik. Tertutupnya ruang dialog dan perasaan pendapatnya yang terbaik menghasilkan hasutan kejam dalam tatap muka. Pertengkaran akibat perbedaan pilihan politik misalnya, tak jarang menciptakan ruang permusuhan abadi. Seolah mereka lupa kepentingan politik tak selamanya statis, sebab politik adalah ruang dinamis. Sekarang jadi musuh, besok jadi kawan, tak ada yang kekal dalam politik kecuali kepentingan politik individu dan kelompoknya itu sendiri.
Dalam menjawab keresahan akibat efek buruk media sosial dan ekstremisme cara pandang terhadap persoalan masyarakat, kita perlu mendorong pendidikan berbasis budaya toleransi. Tentu bukan sekedar toleransi, melainkan bagaimana menghidupkan kearifan lokal yang berdasarkan nilai dan spirit Pancasila. Dalam hal ini, kita bisa belajar kepada Sekolah Adipangastuti di Solo yang mengembangkan pendidikan karakter unggul melalui model pembelajaran Hasthalaku. Sebuah model yang mendorong setiap peserta didik menghargai heterogenitas bangsa Indonesia sehingga mampu berperilaku toleran dalam kesehariannya. Dengan toleransi, perasaan keamanan dan kenyamanan sebagai warga sekolah diwujudkan tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan. Selama enam bulan, kurikulum sekolah secara formal mengadopsi delapan nilai perilaku dengan memadukan narasi dan digitalisasi dalam implementasinya di lapangan.
Keamanan dan kenyamaan warga sekolah memang menjadi problematika yang kompleks dalam dunia pendidikan nasional belakangan. Adanya kasus kekerasan seksual di sekolah menjadi perhatian negara dan masyarakat sipil sehingga institusi pendidikan didorong menciptakan satuan tugas pencegahan kekerasan seksual. Tak jarang, ada sekolah yang masih memandang perbedaan agama secara tajam sehingga memperlakukan diskriminasi pendidik terhadap peserta didiknya. Tak jarang guru memberikan tugas yang memberlakukan anak secara sama, sehingga ”mengacaukan” psikologis anak yang secara nyata beragam secara ekonomi, intelektual, sosial budaya dan keragaman lainnya. Kondisi ini menciptakan sekolah sebagai sarana penjara kuasa pendidikan yang menghadirkan ”pemaksaan pikiran, jiwa dan hati” dan mengarah kepada pengaburan fungsi sekolah sebagai ekosistem penguatan pendidikan karakter berbasis kebudayaan lokal dan nilai agama. Lebih jauh, membiarkan kondisi itu akan mendorong sekolah kehilangan humanisme pendidikan, mengaburkan kenyamaan dan keamanan warga sekolah, mendegradasi sekolah sebagai sarana pengembangan nilai moralitas dan menghilangkan fungsi sekolah sebagai sarana pembentukan ”good and smart citizen”
Konsep hasthalaku dikembangkan dari konsep kebudayaan Jawa khususnya Solo sebagai instrumen mengembangkan perilaku toleransi dan perdamaian di sekolah. pertama, gotong royong sebagai manifestasi masyarakat Indonesia yang senang membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan baik barang dan jasa apapun. Ketulusan tanpa mengharapkan pamrih menjadi dasar perilaku ini sehingga seringkali disamakan dengan sila keempat Pancasila yang mengajarkan musyawarah mencapai mufkat dalam keseharian masyarakat Indoensia. Kedua, grapyak semanak sebagai bentuk keramahan, keharmonian dan kehangatan dalam pergaulan yang menjadi bagian dari komunikasi interpersonal. Hubungan sosial yang harmonis dan baik akan menciptakan individu aktif, menyenangkan dan mudah bergaul dalam kesehariannya. Ketiga, guyub rukun yang merupakan nilai ideal agar manusia hidup tanpa pertikaian dan konflik. Sebagai manusia yang hidup dalam keragaman masyarakat di lingkungan pendidikan, tentu konflik adalah sesuatu yang sulit dihindari. Tetapi konflik harus mampu diatur dengan mengedepankan kebiasaan berdialog dan mendorong penyelesaian konflik berdasarkan konsensus bersama dalam masyarakat.
Keempat, lembah manah atau rendah hati, sebuah sikap batin yang berusaha tidak merasa sombong terhadap orang lain. Kuasa terbesar dalam hidup manusia terletak pada Allah SWT, sehingga menganggap diri lebih hebat, tinggi, pintar dan kaya dibandingkan orang lain merupakan nilai negatif yang perlu dihindari. Sebagai manusia, kita tidak perlu merasa hebat dibandingkan orang lain sebagaimana ungkapan ojo adigang, adigung, adiguna (Jangan sok kuasa, sok besar, dan sok sakti) Kelima, ewuh pakewuh yaitu membiasakan saling menghormati dari orang muda kepada orang tua, siswa kepada guru, anak kepada orang tua. Sikap merasa segan terhadap orang yang dituakan dan berpengalaman dalam hidup serta memiliki ilmu pengetahuan akan mendidik dalam menghormati sopan santun dalam pergaulan. Keenam, pangerten yaitu saling menghargai dan memiliki kepekaan dalam bergaul dengan orang lain. Sikap empati dan solidaritas menjadi kunci menumbuhkan toleransi sehingga kita terbiasakan merasakan secara batin terhadap apa yang dirasakan orang lain. Psikologis manusia yang menghargai orang lain akan mendorong kita menghargai perbedaan sikap, pandangan dan tindakan orang lain.
Ketujuh, andhap ashor artinya berbudi luhur, dimana dalam berkomunikasi kita harus mengedepankan kata-kata yang baik, sopan, lembut dan menjaga tata krama. Dalam pergaulan, perlu didorong adanya sikap jujur agar menciptakan rasa saling percaya dan menjaga keharmonisan dalam hubungan dengan orang lain. Mengalah ketika berkonflik bukan dimaknai sebuah kekalahan, melainkan sebuah kemenangan merendahnya orang lain. Kedelapan, tepa selira yaitu tenggang rasa sebagai bentuk cerminan diri yang mempertemukan logika berfikir dan perasaan hati yang mendalam. Kita harus membiasakan hidup dengan tidak mudah menghakimi orang lain, menjatuhkan orang lain dan merendahkkan orang lain. Sebelum berbicara dan bertindak negatif misalnya mencela dan mengomentari keburukan orang lain, bercermin kepada diri sendiri apakah sudah benar dalam berperilaku dan bertindak. Menghentikan kebiasaan menghakimi, julid dan nyinyir akan membentuk kita menjadi pribadi yang toleran terhadap apa yang dirasakan orang lain. Inggar Saputra Peneliti Pendidikan ,8/5/24.(JP ).