journalpesantren.com Pada pagi ini seluruh umat Islam di seluruh dunia mengumandangkan kalimat takbir dan tahmid guna mengagungkan kebesaran Allah, demikian juga saudara-saudara kita yang sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah, mereka lantunkan kalimat talbiyah: labbaikallahumma labbaik ……yang juga merupakan ungkapan pengagungan kepada sang khaliq pencipta alam semesta ini. Semua ini dilakukan dalam rangka menunjukkan rasa syukur dan taat kita kepada Allah Swt yang telah melimpahkan begitu banyak nikmat dan karunianya yang tidak akan pernah sanggup kita menghitungnya dan nikmat terbesar yang senantiasa kita syukuri adalah nikmat Iman dan Islam tanpa nikmat tersebut kita takkan berada dijalan lurus ini yaitu jalan keselamatan, jalan kebahagiaan dan jalan kemenangan.
Kata korban dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa arab dari kata qurban yang asalnya dari kata qoruba yaqrobu qurbun wa qurbaan yang artinya kedekatan yang sangat. Kata qurban adalah bentuk isim tafdhiil yang menunjukkan penguatan terhadap sifat yang dikandung kata tersebut, dengan demikian kurban atau korban adalah wujud kedekatan yang sangat tinggi sehingga dapat dikatakan dengan simbol penyembelihan hewan seorang hamba diharapkan semakin dekat (qorib) dengan rabbnya. Penyerahan pengorbanan dan tersimbahnya dari hewan adalah simbol penyerahan hidup seorang hamba kepada rabbul alamin sekaligus pembuktian dari ikrarnya qul inna shalati, wanusuki, wa mahyaya wa mamati lillahirabbil alamin (sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku adalah milik Allah tuhan semesta alam.
Makna kurban dalam kontekstualisasi Islam berarti kita berusaha menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi upaya mendekatkan kita pada Tuhan. Penghalang mendekatkan itu adalah berhala dalam berbagai bentuknya, seperti ego, nafsu, cinta kekuasaan, cinta harta-benda dan lain-lainnya secara berlebihan.
Dalam konteks Idhul Adha, pesan mendasar dalam perintah tersebut adalah agar manusia tidak sesat dalam menjalani hidup. Untuk itu, harus selalu menjalin kedekatan dengan Tuhan dan merasakan kebersamaan dengan-Nya setiap saat. Karena manusia mudah sekali teperdaya oleh kenikmatan sesaat yang dijumpai dalam perjalanan hidupnya, maka Allah memberikan metode dan bimbingan untuk selalu melihat kompas kehidupan berupa shalat dan zikir agar kapal kehidupan tidak salah arah.
Dalam kaitannya dengan Idul Adha, pengurbanan itu simbolnya anak, yaitu Ismail as, putra dari Ibrahim as. Simbol kecintaan dunia itu terutama pada anak, sedangkan materi, mobil, rumah dan lainnya itu hanya mengikuti saja. Kalau cintanya seorang pemimpin terhadap anak berlebihan dan karenanya takut terjadi apa-apa pada anaknya itu, bisa menghalangi hubungannya dengan Tuhan dan rakyatnya. Karena itulah pesan mendasar dan abadi dari Ibrahim itu, yakni sembelihlah anakmu. Artinya, sembelihlah segala ego, kerakusan, dan nafsu yang ada di hatimu, yang itu semua dapat menutupi kedekatan dan hubunganmu terhadap Tuhan dan sesama manusia. Tetapi bila itu semua kamu lakukan, maka dapat mendekatkan kamu dengan Tuhan dan dengan rakyatmu. Ketika Ibrahim akan melakukan itu godaannya berat sekali, ya dari setan, dari istri Ibrahim sendiri, dan lainnya. Meskipun, saat akan dilakukan penyembelihan itu kemudian Allah menggantinya dengan kambing. Karena Allah tahu, cukuplah dengan kambing karena engkau ya Ibrahim telah melakukan yang semestinya, yakni menyembelih ego, kerakusan, dan cinta berlebihan dalam dirimu. Inilah yang mestinya kita ambil maknanya, bahwa sekarang ini berhala-berhala duniawi luar biasa bergentayangan, yang secara tak sadar telah menjerumuskan kehidupan kita, termasuk mengantar bangsa ini ke tepi jurang kehancuran.
Bila dilacak secara historis ibadah qurban sudah dikenal sejak zaman nabi Adam as sebagaimana kita ketahui bahwa dua putra nabi adam telah diperintahkan untuk berqurban kepada allah namun yang memenuhi tuntunan ibadah qurban itu secara benar hanyalah seorang saja yaitu bernama habil adapun saudaranya qabil juga melaksanakannya namun tidak sesuai dengan apa yang diperintahkannya akhirnya yang diterima qurbannya adalah habil sedang qurban qabil ditolak, lalu qobil merasa cemburu sehingga membunuh saudaranya habil. Hal ini telah dikisahkan dalam alquran surat almaidah ayat 27.
Secara formalistik, sejarah ibadah qurban bermula dari Nabi Ibrhaim As. Yakni, tatkala ia bermimpi disuruh Tuhan-nya untuk menyembelih Nabi Ismail As, seorang putra yang sangat dicintainya hal ini dapat dilihat dalam (Q.S Ash-Shaffat, 37: 102- 110). Singkat alkisah, dari perstiwa kenabian Ibrahim inilah ibadah qurban muncul dan menjadi tradisi umat Islam hingga saat ini.
Banyak makna yang dapat dipetik dari ibadah qurban ini, baik secara ruhiyah maupun secara sosial-kemasyarakatan. Secara ruhiyah, ibadah ini bisa menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran ritual dari para pelakunya. Secara sosial-kemasyarakatan, ibadah qurban akan bermakna apabila kerelaan dan keikhlasan orang-orang yang melaksanakan qurban berimbas pada perilaku keseharian dan perhatiannya pada sesama, utamanya kaum fakir miskin . Secara esensial, tentu saja, tujuan ibadah qurban bagi umat Islam adalah semata-mata mencari ridla Allah SWT. Ibadah qurban ini dimaksudkan untuk memperkuat dan mempertebal ketaqwaan kepada Allah. Allah akan menilai ibadah ini sebagai wujud ketaqwaan hamba kepada-Nya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS Al Hajj, 22: 37). Hal ini pulalah yang menjadi sebab tertolaknya qurban salah seorang dari kedua putera Nabi Adam A.S dan diterima-Nya qurban yang lain. Bukanlah suatu nilai yang tinggi dan banyak di mata Allah, qurban yang banyak tetapi tanpa keikhlasan dan ketakwaan orang yang berqurban hal itu sama saja tak ternilai di mata Allah SWT. Kebanyakan kita menilai ibadah qurban, mungkin cenderung melihat sesuatu dari lahirnya yang tampak, padahal Tuhan melihat sebaliknya yaitu keikhlasan. Mungkin tatkala kita melihat seseorang berqurban hanya dengan seekor kambing, kita menganggapnya remeh. Kita lebih memandang besar dan hormat kepada orang yang berqurban dengan seekor sapi yang gemuk. Padahal belum tentu penilaian kita benar. Sebenar-benar penilaian hanyalah Allah. Mungkin saja di mata Allah lebih tinggi nilai seekor kambing tadi karena taqwa di hati orang yang berqurban. Jadi tak ada yang menghalangi seseorang untuk berqurban sedikit jika disertai hati yang suci, taqwa dan ikhlas. Dan tidak ada kepastian diterimanya qurban yang banyak dari seseorang tanpa ketaqwaan dan keikhlasan. Namun di sini bukan berarti tidak diperbolehkan berqurban dengan jumlah banyak, berqurban banyak pun boleh asal disertai dengan taqwa dan ikhlas. Taqwa dan ikhlas menjadi inti amal, mengapa? Sebab, banyak sebagian dari kita tatkala beramal hanya untuk mencari muka, dan pujian semata. Selain makna sosial di atas, Ibadah qurban juga bisa menjadi sarana untuk membentuk kepribadian yang penuh toleransi, media menebar kasih sayang, serasi dan jauh dari keegoisan. orang itu sendiri dan masyarakat luas.
Dalam konteks hubungannya dengan kehidupan kita sekarang, ibadah qurban mengandung 7 (tujuh) pesan moral. Pertama, Kepada para Pemimpin. Para Pemimpinlah yang seharusnya lebih dahulu untuk berqurban. Bukan hanya dengan menyembelih binatang, tetapi juga dengan menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang ada pada mereka. Ibadah qurban, mengingatkan kepada para elit Pemerintahan; dari Presiden sampai Pengurus RT, dari DPR Pusat sampai DPRD, dari Pemimpin Ormas sampai Partai Politik, bahwa hanya dengan menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang ada pada mereka, mereka akan bermartabat di hadapan Allah dan terhormat di mata manusia. Kedua, Kepada Para Pengusaha dan Pedagang. Berqurbanlah dengan menyembelih sifat-sifat curang dan tidak jujur, seperti mengurangi timbangan, curang dalam takaran, menipu dan memperdaya pembeli. Jadilah pedagang yang jujur, yang dapat menjadi tiang tegaknya ekonomi Islam.
Jangan meminjamkan uang dengan maksud mengambil bunganya sebab termasuk perbuatan riba yang dilarang Allah. Ketiga, Kepada Para Aparat Penegak Hukum (Hakim, Jaksa, Pengacara, dan Polisi). Berqurbanlah dengan menyembelih keinginan untuk menjual-belikan hukum, hindari mafia peradilan dan mafia kasus, jauhkan diri dari perilaku menyuap dan disuap. Junjung tinggi keadilan, jadikan hukum positif dan hukum normative sebagi pertimbangan dalam memutuskan hukum. Asah terus kejujuran hati nurani. Keempat, Kepada Para Dosen, Guru, dan Para Pendidik lainnya. Berqurbanlah dengan kesungguhan melahirkan generasi yang berotak Jerman tetapi berhati Mekkah. Lambang integrasi antara kecerdasan akal dan kecerdasan hati, intelektual quations dan emotional quations, antara kecerdasan dan akhlak mulia, antara filsafat dan tasawuf. Kelima, Kepada Orang Tua dan Anak-anak. Kepada Orang Tua, Jadikan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar sebagai suri tauladan dalam pengorbanan terhadap apa yang paling dicintainya; anak semata wayang-nya, Ismail AS yang dia rindukan bertahun-tahun kehadirannya, dia qurbankan karena kecintaan dan keta’atan kepada Allah SWT di atas segala-galanya. Karena itu, beri anak-anak pendidikan agama dan pergaulan yang terbaik, ajarkan kepada mereka mengenal Allah dan mencintai Allah. Didik anak-anak dengan perhatian penuh, jangan mendidik anak-anak dari sisa waktu kita. Keenam, Kepada Anak-anak. Jadikan Nabi Ismail AS sebagai teladan dalam keta’atan kepada perintah Allah serta penghormatan kepada kedua orang tua. Ketika Nabi Ibrahim meminta pendapat putranya, Ismail AS, bahwa Allah memerintahkan Ibrahim untuk mengurbankan Ismail, Ismail menjawab: Ya Abatif’al maa tu’mar satajidunii insya Allah min al-shabirin, Wahai ayahku sayang, kerjakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu, insya Allah engkau mendapati-ku termasuk anak yang sabar. Ketujuh, Kepada Kita Semua, Muslimin-Muslimat. Qurbankan manisnya harta dengan mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah, dan memotong hewan qurban. Qurbankan empuknya jabatan dengan melayani umat. Jadikan semua yang kita miliki sebagai alat mendekat kepada Allah SWT.
Dr Jaenullah S,Hi M,pd .Umala Lampung.
Jp.