Jakarta, journalpesantren.com | ALMARHUMAH Mak dulu pernah berpesan: _“Carilah isteri yang bisa ngurus, bukan yang bisa nguras”._ Salah memilih pasangan hidup, maka rumah tangga bahkan negara bisa berantakan. Salah memilih guru, pasti hidup tersesat jalan. Pamer barang mewah, bisa jadi masalah!*
AKHIR-akhir ini, media sosial dan media cetak maupun online ramai memberitakan banyak pejabat, terutama isteri pejabat yang pamer harta kekayaan. Memamerkan kehidupan yang borjuis dan barang-barang mewah adalah kebodohan dari perilaku OKB (Orang Kaya Baru). Pun, di Bangka Belitung ternyata demikian, pertama terjadi dalam sejarah gaya hidup para pejabat sebelumnya di seluruh wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang “ngambok” pamer kemewahan.
Padahal, disini, adab, adat dan akhlak masyarakat Melayu sangat jauh dari kehidupan demikian. Bukan tak boleh memiliki, tapi menjaga diri untuk tidak “ngambok” apalagi diri adalah seorang pejabat/isteri pejabat sangatlah tak beretika dan jauh dari nilai-nilai kemelayuan bahkan keindonesiaan jika kita berbicara sejarah berdirinya bangsa ini. bagaimana dulu para pemimpin yang hidup dalam kesederhanaan namun tetap dikenang sebab jasa dan keteladanan.
Saya punya banyak teman pengusaha, yang duitnya tak lagi berseri, punya hotel dimana-mana, perusahaan besar perminyakan, kapal pesiar bersandar dibelakang rumahnya yang langsung bisa berlayar ke tengah lautan atau pulau-pulau yang hendak dituju, mobil mewah dengan harga milyaran berderet di garasi rumahnya.
Penjaga rumahnya ada banyak pria berbadan kekar. Tapi, di media sosial, baik dirinya maupun isterinya biasa-biasa saja, tak pamer ini dan itu, tak ada barang mewah yang dipamerin. Padahal dia adalah pengusaha, bukanlah pejabat yang dipilih oleh rakyat.
Pun demikian, saya bersahabat karib juga dengan seorang pengusaha lainnya, memiliki berbagai perusahaan, pabrik, perkebunan dan sebagainya. Isteri dan anak gadisnya, biasa-biasa saja dalam kehidupan sehari-hari maupun bermedia sosial. Tak ada pamer barang mewah, walaupun saya sedikit tahu, barang yang dimiliki oleh mereka harganya sangat mahal. Bahkan kadangkala lebih mahal dari harga diri pejabat dan isteri pejabat yang norak. Saya jadi teringat dengan kata Jusuf Hamka: “Jadilah orang kaya, bukan jadi orang terlihat kaya”. Sebab orang yang “ngambok” kekayaan itu pastilah orang baru merasa kaya.
*Kaget Struktural, Sosial, Spiritual dan “Viral”*
DALAM kehidupan sosial, setidknya ada 3 jenis kaget: (1) Kaget Struktural (2) Kaget Spiritual (3) Kaget Sosial dan ditambah sekarang ini menjadi yang ke-4, yakni Kaget Karena Viral. Kaget struktural misalnya dari tidak menjadi apa-apa, tiba-tiba menjadi apa-apa. Biasanya ini terjadi pasca Pemilu. Dari dirinya yang pengangguran, dipandang sebelah mata oleh masyarakat, tiba-tiba memiliki jabatan dan pengaruh dari jabatan yang disandang. Jika tak mampu mengolah mental, maka akan terjadi kaget sosial. Istilah urang Bangka, masuk kategori “Taipau Begereng”.
Lalu Kaget Spiritual adalah perilaku “hijrah” yang marak ditengah kehidupan agama kita. Seseorang yang dulunya tidak mengerti apa-apa tentang agama, tiba-tiba menyatakan “hijrah”. Hijrah yang dilakukan langsung gaspoll, dari mulai busana yang dikenakan sudah ke-arab-araban, bicaranya “antum”, “ana” “harim” dan bahasa Indonesia pun sudah pake “tajwid” atau “qolqolah”. Persis orang baru tamat nyantri di Timur Tengah. Baru ngaji “Bab Thoharoh” dari satu mazhab sudah mengeluarkan fatwa dan gampang mengkafir-kafirkan orang yang tidak sepemahaman.
Selanjutnya kaget sosial seringkali terjadi oleh kaum wanita. Yakni dari diri paling bawah, misalnya dulu hanya SPG, tukang kebun, karyawan rendahan, gadis kampung, tiba-tiba menjadi isteri pejabat, dulu miskin jelata, tiba-tiba memiliki kemewahan luar biasa, dulu pegang uang dari ngutang, sekarang pegang milyaran setiap bulan. Kaget sosial ini sangat nampak dari gaya hidup nyata maupun di dunia maya. Barang-barang mahal digunakan ditengah perkumpulan dan setiap kegiatan medsos, pamer barang mahal adalah bagian dari keharusan. Sebab nilai seseorang seperti ini sebenarnya hanya dari apa yang ia miliki, bukan dirinya sendiri. Padahal kepribadian seorang manusia sesungguhnya jauh lebih berharga dari apa yang ia miliki. Kaget sosial seperti inilah, di era teknologi canggih seperti sekarang ini, membuat kaget kala sudah menjadi viral.
Nah, kalau sudah pada posisi “kaget karena viral”, lantas panik dan tidak introspeksi diri, yang akan terjadi semakin tidak tahu diri. Ini menunjukkan kelas mental rendah seseorang. Berapa banyak kejadian yang akhirnya menampar kehidupan sendiri, yakni berusaha membela diri dan menganggap yang memberitakan adalah kesalahan atau hoax. Akhirnya pidato kemana-mana tentang hoax. Padahal, pejabat publik diamanahkan mengelola negeri, uang rakyat berseliweran, pastinya wajar ada keingintahuan dari rakyat, bahkan kecurigaan. Pejabat publik siapapun itu, memang harus bersiap diri untuk dikritik, diawasi bahkan dicurigai. Jangan marah dong apalagi kirim pasukan ini itu mendatangi orang yang mengkritik.
Memang, ketika posisi lagi nyaman diatas, memiliki segalanya, ada hal yang paling sulit dilakukan oleh orang dewasa yakni “Minta tolong” dan “Minta maaf”. Padahal 2 kalimat ini sejak kita belum masuk jenjang TK, sudah diajarkan oleh orangtua. Ketika duduk di bangku TK, guru-guru mengajarkan 2 kalimat tersebut. Namun setelah dewasa, semakin kaya, semakin tinggi jabatan dan semakin masyhur namanya, semakin susah menggunakan 2 kalimat tersebut: “Minta Tolong” dan “Minta Maaf”.
Manusia itu seperti berlian. Sebutir berlian walau berada di tempat sampah, ia tetaplah berlian, tidak akan berkurang nilainya. Sedangkan sampah walau diletakkan didalam kotak berlapis emas, ia tetaplah sampah yang tak bernilai sama sekali. Begitupula manusia, dimana ia berada, apapun posisinya, terkenal atau tidak namanya, kalau ia memiliki karakter diri, maka pastilah ia bernilai tinggi. Pun demikian sebaliknya, walau bercokol dalam istana, tetaplah tidak memiliki harga, apalagi kalau jabatan tak lagi disandang, nama tak lagi populer, harta tak lagi mendekap diri.
Terakhir, saat menulis ini, saya sedang bersiap menyampaikan materi seminar di sebuah kampus. Jika tak lupa pas pegang mikropon, nanti saya ingin mengatakan: “Ambil peran dalam kepemimpinan dimana pun, terutama di karya dan kepemudaan. Silahkan dekat dan berkontribusi pada pemerintah, itu bagus. Tapi ingat, pemerintah bukan penguasa. Karena dekat bukan berarti harus menjilat, menolong tidak harus menggonggong dan mencari duit tidak harus dengan menggigit. Sebab hidup tidak se-anjing itu, kawan!”.
Lantas yang terakhir, ingat pesan Mak: “Carilah isteri yang bisa ngurus bukan yang bisa nguras. Jadilah laki-laki hebat dan cerdas, sebab kalau laki budu bini betingkah, eh.. bagak”
Salam Bagak!(*)
Ahmadi Sofyan, akrab disapa Atok Kulop. Dikenal sebagai Penulis Buku dan Opini “tajamnya” di berbagai media. Sudah lebih 80 judul buku ia tulis dan 1.000 lebih opini di media. Saat ini ia banyak menghabiskan waktunya di pundok kebun tepi sungai.(Kelana Peterson).