journalpesantren.com Papua bukan sekedar kisah perang tentara Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka yang pemberitaannya banyak menghiasi media massa dan online di Jakarta. Tak sebatas kita mendengar orang ke sekolah berjalan kaki tanpa sepatu atau sandal, juga bukan semata wilayah gunung yang seringkali terjadi konflik antar suku. Bumi Cenderawasih tidak hanya kisah lama yang membahas busung lapar, stunting, ketakutan akan bahaya nyamuk malaria dan beragam kisah “menakutkan” yang diceritakan media kepada banyak pembaca di kota besar. Tidak semata bicara kebiasaan makan babi dan memakan pinang yang dibuang sembarangan sehingga seakan Tanah Papua “kebanjiran” darah.
Itu semua cerita masa lalu, sebab kondisi segala bidang termasuk pendidikan dan kehidupan sosial-budaya Papua yang terus berubah menuju perubahan yang lebih baik dengan menyesuaikan teknologi dan keindahan alam tanpa meninggalkan warisan kearifan lokal. Papua hari ini, termasuk Papua Barat khususnya wilayah Ransiki semakin mempercantik wajah agar bisa menjadi salah satu daerah nyaman bagi penduduk lokal maupun warga asing yang berkunjung ke Ibukota Kabupaten Manokwari Selatan ini. Di atas pegunungan dan bawah pesisir pantai, kita akan menemukan bagaimana alam terus mengajarkan kita agar mampu bertahan hidup di tengah gempuran modernisasi, globalisasi dan arah kehidupan yang serba teknologi sekarang ini.
Dapat dikatakan, pemandangan umum yang banyak terlihat di Ransiki adalah maraknya gereja yang terhitung setiap 5-10 menit berjalan pasti ada gereja dengan bermacam-macam nama. Ada gereja Bethel, Petrus Abreso, Asabari dan lainnya dengan kondisi bangunan baik yang umumnya gereja di perkotaan maupun struktur bangunan dengan mengadopsi nilai kelokalan Papua. Di beberapa wilayah Ransiki ada masjid, tapi tidak bersifat dominan, karena mayoritas suku lokal Papua baik di pegununungan dan pesisir pantai serta masyarakat perkotaan memeluk agama Kristen. Tapi toleransi antar agama di sini berjalan cukup baik dan masyarakat saling menyatu dalam keberagaman keagamaan yang ada sehingga dapat disebut Ransiki termasuk wilayah moderasi beragama.
Papua bukan sekedar kisah perang tentara Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka yang pemberitaannya banyak menghiasi media massa dan online di Jakarta. Tak sebatas kita mendengar orang ke sekolah berjalan kaki tanpa sepatu atau sandal, juga bukan semata wilayah gunung yang seringkali terjadi konflik antar suku. Bumi Cenderawasih tidak hanya kisah lama yang membahas busung lapar, stunting, ketakutan akan bahaya nyamuk malaria dan beragam kisah “menakutkan” yang diceritakan media kepada banyak pembaca di kota besar. Tidak semata bicara kebiasaan makan babi dan memakan pinang yang dibuang sembarangan sehingga seakan Tanah Papua “kebanjiran” darah.
Itu semua cerita masa lalu, sebab kondisi segala bidang termasuk pendidikan dan kehidupan sosial-budaya Papua yang terus berubah menuju perubahan yang lebih baik dengan menyesuaikan teknologi dan keindahan alam tanpa meninggalkan warisan kearifan lokal. Papua hari ini, termasuk Papua Barat khususnya wilayah Ransiki semakin mempercantik wajah agar bisa menjadi salah satu daerah nyaman bagi penduduk lokal maupun warga asing yang berkunjung ke Ibukota Kabupaten Manokwari Selatan ini. Di atas pegunungan dan bawah pesisir pantai, kita akan menemukan bagaimana alam terus mengajarkan kita agar mampu bertahan hidup di tengah gempuran modernisasi, globalisasi dan arah kehidupan yang serba teknologi sekarang ini.
Dapat dikatakan, pemandangan umum yang banyak terlihat di Ransiki adalah maraknya gereja yang terhitung setiap 5-10 menit berjalan pasti ada gereja dengan bermacam-macam nama. Ada gereja Bethel, Petrus Abreso, Asabari dan lainnya dengan kondisi bangunan baik yang umumnya gereja di perkotaan maupun struktur bangunan dengan mengadopsi nilai kelokalan Papua. Di beberapa wilayah Ransiki ada masjid, tapi tidak bersifat dominan, karena mayoritas suku lokal Papua baik di pegununungan dan pesisir pantai serta masyarakat perkotaan memeluk agama Kristen. Tapi toleransi antar agama di sini berjalan cukup baik dan masyarakat saling menyatu dalam keberagaman keagamaan yang ada sehingga dapat disebut Ransiki termasuk wilayah moderasi beragama.
Di sini, ada dua hotel berbentuk bangunan tiga lantai berwarna kuning, dikenal dengan Srikandi Hotel yang lokasinya berdekatan dengan kantor Bupati dan dekat kantor Dinas Kesehatan. Infrastruktur hotel belum banyak dibangun mengingat Kabupaten Manokwari Selatan baru dimekarkan belum cukup lama sehingga masih banyak dalam tahap pembangunan. Kantor Dinas sebagai Organisasi Perangkat Daerah juga masih banyak yang menyewa rumah penduduk dan dekat pinggir jalanan utama yang umumnya sudah diaspal sehingga belum terlalu nyaman dan tepat disebut kantor dari pelayanan publik pemerintah. Banyak kantor pemerintah dengan rumah penduduk, gereja, masjid dan tidak sedikit yang bersebelahan dengan kantor partai politik seperti Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Kebangkitan Nusantara dan lainnya.
Ada satu budaya lokal yang sudah dikenal sejak 3000 tahun lalu dan masih tetap dilestarikan masyarakat Papua yaitu makan sirih pinang yang diyakini mampu menguatkan gigi. Hampir di banyak tempat masyarakat makan sirih pinang dan masih terbiasa membuang sisa kunyahan atau meludah sirih pinang di sembarangan terutama jalan sepanjang pusat kota dekat kantor Bupati dan lapangan sepakbola. Bagi yang belum terbiasa melihat kondisi ini mungkin akan kaget melihat “merahnya darah (hasil kunyahan sirih pinang yang dibuang di jalan-pen) bertebaran sepanjang jalan dan melihat ini sebagai perilaku yang menimbulkan rasa menjijikan. Tapi kita juga perlu memahami bahwa sirih pinang adalah sarana eksistensi orang Papua agar dapat diterima sebagai teman, lambang kerukunan dan solidaritas masyarakat Papua. Meski juga perlu dicarikan cara efektif agar budaya mengunyah sirih pinang tidak menghasilkan perilaku membuang bekas kunyahan sirih pinang di sembarang tempat karena bertentangan dengan perilaku hidup bersih dan sehat.13/9/23 ( journal P )