Journalpesantren jakarta.Millenial Pesantren, Demokrasi dan Digital.
Sadar atau tidak, kita sekarang memasuki zaman yang serba teknologi. Semua urusan banyak dikendalikan oleh handphone dan laptop. Ini sebuah zaman ketika teknologi mendegradasi peran manusia. Kita ketergantungan kepada teknologi tinggi sekali, sehingga kadang melupakan dunia nyata. Bayangkan saja, seorang anak muda berkumpul Bersama temanya. Sambil mengobrol tanpa melihat muka mereka sibuk dengan gadgetnya.
Kecanduan teknologi di era serba digital juga menghampiri generasi millennial, termasuk di kalangan pesantren. Mereka mudah mengakses banyak informasi yang terlepas itu positif atau negatif. Berit aartis Korean Pop, Drama Korea dan serangan budaya lainnya menyatu dengan kajian ke-Islaman yang mereka baca. Sulit rasanya jika anak muda yang candu teknologi harus berhadapan dengan pelarangan memegang handphone di sekolah. Ada kebebasan yang dirasakan terbatas, meski memang kita sesungguhnya membutuhkan pembatasan itu.
Sebagai informasi, generasi millennial seringkali didefinisikan sebagai generasi yang lahir pada 1980 sampai 2000an. Populasi mereka sekarang di Indonesia mencapa 34 persen. Sebuah angka yang cukup besar dalam struktur demografi, sehingga mereka seringkali diharapkan menjadi asset dalam kepemimpinan Indonesia kelak. Generasi ini sangat unik, karena memiliki kecanduan internet tinggi mencapai lebih dari 7 jam sehari. Mereka sangat aktif, percaya diri dan kreatif, serta selalu ingin terhubungkan dengan kelompoknya.
Konteks pesantren, sejatinya millennial banyak pula yang menghuni pesantren di Indonesia. Mereka adalah siswa yang harus dikembangkan potensi dan ditumbuhkan motivasinya. Potensi diri dapat dilatih salah satunya dengan memanfaatkan kelebihan mereka yang native digital. Perkembangan teknologi harus diupayakan menuju hal yang positif. Misalnya dalam konteks kedewasaan hidup berdemokrasi yang membentuk mereka jadi pribadi menghargai kebebasan, perbedaan, mengakui kesetaraan, matang dalam menentukan pilihan hidup dan mampu bertanggung jawab atas pilihan hidupnya.
Hidup dalam pilihan berdemokrasi, santri millennial juga dapat diarahkan mengawal proses demokrasi di Indonesia. Mereka dapat ditempatkan sebagai pemilih dan pengawas kegiatan berdemokrasi dalam skala pesantren dan negara. Di Pesantren, dalam pemilihan ketua kelas, para santri dapat diajarkan memilih calon yang diyakini terbaik dan mampu membawa perubahan. Selain itu, dikenalkan metode kampanye daring dengan optimalisasi teknologi dan era digital melalui aplikasi whatsapp dan media social lainnya. Selain mematangkan kehidupan demokrasi, adanya kampanye dan pemilihan daring akan membentuk wawasan dan daya saing mereka dalam menghadapi turbulensi kehidupan global.
Skala negara, santri dapat diajarkan memilih dan memilah atas keputusan hidupnya. Mereka dapat dilatih dan dibebaskan memilih pemimpin yang diyakininya baik pemilihan legislative dan pemilihan presiden. Esensi demokrasi menghendaki kebebasan untuk memilih calon yang diyakini terbaik dan bertanggung jawab atas resiko terhadap pilihan tersebut. Selain itu demokrasi menginginkan setiap warga negara berpartisipasi dalam menentukan “suara” nya melalui bilik suara saat harus menentukan caleg dan capres dalam pemilu 2024 mendatang.
Tidak kalah penting, santri millennial dapat membantu edukasi politik kepada sesame generasi millennial dan masyarakat umum. Handphone sebagai sarana digital dapat diarahkan santri millennial untuk mengajak orang lain cerdas dalam berpolitik. Menjauhi kampanye hitam, menghentikan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian dan mengajak masyarakat bebas memilih menjadi salah satu edukasi millennial melalui sarana digital yang dimilikinya. Kalangan pesantren juga bisa mendeklarasikan pemilih cerdas wajib menentukan pilihan saat Pilpres 2024 dan jangan sampai menjadi penganut “golongan putih”
Lebih jauh, santri millennial dapat diajarkan untuk mendorong kehidupan digital yang aktif dengan bertindak sebagai pengawas pemilu. Segala upaya pelaku politik yang bertentangan dengan etika dan keadaban politik harus dilakukan “perang” melalui media social. Jangan sampai media social menjadi ajang adu domba. Sudah saatnya teknologi diubah menjadi “senjata” ampuh millennial agar hidup sehat, demokratis dan produktif.Inggar Saputra M,Si