journalpesantren.com Washington — Education for all atau pendidikan untuk semua. Itu merupakan filosofi utama bagaimana seharusnya pendidikan berperan dalam kehidupan umat manusia. Pendidikan tidak perlu mahal, tetapi harus mampu membangun aspek-aspek kemajuan dan triger bagi peradaban semesta.
Pada event NAFSA di USA, 29 Mei – 3 Juni 2023, spirit “education for all” tercover oleh “main issue” yang dipromosikan melalui hadirnya tokoh perempuan pejuang HAM, Nadia Murad, asal Yazidi, Irak. Namun, jika melihat dari fakta-fakta di lapangan bahwa promosi pendidikan pada event NAFSA nampak sekali aroma bisnis dan industri. Bahkan bisa disebut sebagai puncak industri pendidikan terbesar di dunia.
Apa indikatornya? Sangat jelas, melalui expo yang digelar selama tiga hari Welter E Washington Convention Center, DC menunjukkan bahwa pendidikan sebagai industri.
Berdasarkan data dan informasi di lapangan bahwa untuk mengikuti pameran, institusi pendidikan harus merogoh kocek sekitar 350 juta rupiah (23000 $). Itu pun hanya “beli” ruang, belum desain stand, sewa meja kursi, dan lain-lain. Sementara untuk menjadi “attenden” atau peserta konferensi dan dapat mengunjungi expo harus membayar sekitar 15 juta rupiah (1000 $). Tentu angka yang cukup mahal jika diukur dari prinsip pendidikan untuk semua. Artinya tidak semua lembaga pendidikan menjangkaunya.
Kita lihat di arena expo, masing-masing stand dari lembaga kursus atau perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta dari seluruh dunia menawarkan “jasa pendidikan” untuk dijual kepada pihak lain. Istilah kerennya, moment expo membuka peluang kolaborasi antara satu perguruan tinggi kepada lembaga atau perguruan tinggi lain antar negara. Fenomena “tawar menawar” program seperti layaknya jual beli produk sangat nampak di sini.
Sebagai satu contoh, stand besar terpampang: Study in Germany, Study in Australia, Study in Canada, dan lain-lain. Di deretan stand tersebut terdapat perguruan tinggi di masing-masing negara yang menawarkan berbagai program, seperti Regular Program, Summer Program, Student Mobility, Research Collaboration, Short Course Scholarship, dan lain sebagainya. Di sana terpampang harga atau biaya yang dapat dilihat dan dapat dinegosiasikan.
Bagi perguruan tinggi yang memiliki reputasi bagus dari “World Rank” misalnya, maka produk-produk akademik dan biaya kolaborasinya juga mahal. Demikian juga perguruan tinggi dengan keunggulan-keunggulan tertentu, seperti reputasi jurnal ilmiah berskala global, atau “program specialization” akan memasang tarif yang juga tinggi. Intinya, “barang bagus” akan dijual atau ditawarkan dengan harga bagus. Di sinilah letak dari “komersialisasi” pendidikan yang nampak nyata.
Untuk kepentingan misi program internasionalisasi PTKI, pada moment Expo, delegasi Kementerian Agama mendatangi ke beberapa stand perguruan tinggi di USA, Canada, dan lainnya untuk menjajagi kemungkinan kolaborasi bidang akademik. Beberapa fokus yang ditawarkan di antaranya adalah student mobility, join research, visiting professor, double degree, join degree, dan specialization in field study.
Selain itu, salah satu yang menjadi concern delegasi adalah terkait dengan “data science filed”. Hal ini sangat menarik untuk pengembangan mahasiswa PTKI bidang manajemen data sains pada sebuah universitas di Amerika. Di luar expo, delegasi dipertemukan oleh USAID Indonesia di hotel Renaisance DC dengan beberapa perguruan tinggi di USA untuk menggali informasi secara mendalam, di antaranya: Colorado State University, Temple University, Pratt University, American University DC, University of Nebraska Lincoln, Community Colleges, dan lain-lain.Sumber info Kemenag RI / journal P.