Journal News .Dalam setiap kontestasi politik di Indonesia, pesantren adalah kelompok masyarakat yang terpenting dan selalu diperhitungkan suaranya. Dengan kesadaran berbangsa dan beragama, kelompok Islam ini selalu berusaha mengambil bagian penting dalam politik. Baik dalam konteks menyukseskan agenda demokrasi, maupun keterlibatan anggotanya dalam berbagai ranah di politik. Ini seolah menjadi sebuah keniscayaan dalam sejarah politik Indonesia bahwa penting sekali bagi pelaku politik “melirik” dan “mendengar” suara kalangan pesantren dalam penentuan kebijakan politiknya untuk masyarakat luas.
Tradisi berpolitik dalam pesantren sebenarnya sudah cukup mendarah daging. Saat ini, kita dpaat melihat bagaimana keterlibatan tokoh pesantren dalam politik praktis di Indonesia. Banyak sekali tokoh strategis pesantren menempati posisi publik baik dalam kapasitas lembaga eksekutif dan legislatif sehingga memberikan warna baru dalam perpolitikan nasional. Mereka diberikan kepercayaan oleh publik, karena integritas dan kompetensinya sehingga diharapkan mampu menjawab dan menangkap kebutuhan masyarakat secara luas.
Dengan masuknya aktivis berlatar belakang pesantren, kita mengharapkan ada banyak perubahan dalam budaya politik Indonesia. Nilai Islami diharapkan mampu termanifestasikan ke dalam ruang publik secara massif. Hal itu tidak harus dalam konteks formalisasi syariat Islam, melainkan dapat hadir dalam keteladanan nilai, perilaku dan sikap yang sesuai ajaran Islam. Lebih jauh, mereka diharapkan mampu menjadi “pencerah” di tengah kehidupan politik yang seringkali dianggap kotor, serba pragmatis dan jauh dari keadaban publik.
Selain menempati posisi penting di pemerintahan, dewasa ini pesantren dapat mengambil posisi penting dalam mengawal demokrasi Indonesia. Ini mengingat kita akan memasuki tahun politik, dimana pemilu dan pilpres 2024 semakin dekat. Jika tidak mengalami penundaan, pemilu akan berjalan sesuai waktunya. Tentu diharapkan aktivis dan tokoh pesantren dapat berpartisipasi aktif, dimana salah satunya menggalang gerakan kawal pemilu 2024. Ini merupakan gerakan nyata dalam mengawal upaya penegakan demokrasi di Indonesia agar tetap berada di jalur yang benar.
Dalam upaya itu, pesantren dapat mengadakan program Tiga Sadar dan menggandeng Badan Pengawas Pemilu. Pertama, Sadar Demokrasi. Demokrasi adalah konsep yang menginginkan peran serta masyarakat dalam memilih pemimpin Indonesia ke depan. Dengan keterlibatan masyarakat, demokrasi secara konseptual menginginkan pemimpin yang terpilih memiliki legitimasi yang kuat. Jika legitimasi kuat, maka pemimpin akan mendapatkan dukungan luas masyarakat dalam menghasilkan kebijakan publik dan tindakan politiknya.
Untuk menghasilkan pemimpin yang kuat, mekanisme politik yang dapat dilakukan melalui kontrol terhadap partai politik dan anggotanya. Kita memahami, peran itu tidak dapat secara tunggal dipegang partai politik, melainkan harus menggandeng stakeholders masyarakat. Pesantren salah satunya dengan melaksankan fungsi melaksanakan pengawalan pemilu agar berjalan secara demokratis dan jauh dari praktek penyelewengan kekuasaan. Gerakan sadar demokrasi menginginkan, entitas pesantren sebagai pihak yang aktif mengawal, membangun kesadaran dan mengedukasi masyarakat agar menjauhi praktek politik yang bertentangan dengan nilai demokrasi.
Kedua, Sadar Millenial. Potensi millennial di Indonesia dalam usaha menyukseskan demokrasi sangat besar. Diketahui, saat ini populasi millennial menyentuh angka sepertiga dari populasi Indonesia. Konteks ini, kelompok anak muda ini banyak yang menghuni dan belajar di pesantren. Mereka umumnya kurang menyukai politik, lebih senang kepada dunia olahraga, music dan film. Serta menghabiskan sebagian waktunya dengan berselancar di dunia maya khususnya internet dan media sosial. Ini menandakan betapa penetrasi internet dan media sosial hidup dalam keseharian mereka dan menjadi bagian gaya hidup millennial.
Internet dan media sosial, meski seringkali dinilai membuat millennial malas gerak (mager) dan dipandang “miring” menghasilkan budaya serba instan. Tetapi sejatinya dapat dimanfaatkan millennial di pesantren untuk menjadi ajang pembentukan kreativitas. Tinggal sejauhmana pengasuh, pendidik dan kelompok yang dituakan di pesantren mampu mengarahkan kreativitas santri millennial menjadi sesuatu yang positif. Kegiatan olahraga, pembuatan film, pendek dan musik bercita rasa nasionalisme dapat menjadi alternatif pilihan pengembangan diri millennial. Asah potensi itu dapat diperkuat dengan pemahaman politik yang baik, sehingga terkoneksi keinginan millennial dengan kebutuhan politik kekinian yang serba gadget dan bertumpu pada aktivitas ruang maya (internet dan media sosial-pen)
Ketiga, Sadar Literasi Pemilu. Kemampuan kalangan pesantren sebagai komunitas aktif dan dinamis tentu diperlukan dalam mempersiapkan pemilu yang bersih, jujur dan adil. Kita semua memahami bagaimana pendidikan kepemiluan sudah mengakar kuat dalam tradisi pesantren. Kesempatan menjadi pemimpin diaktualisasikan dalam hubungan santri dan kyai. Satu sisi seorang santri harus menghormati kyai dikarenakan kedalaman ilmu agama dan kematangan baik intelektual, spiritual dan emosionalnya. Tetapi sisi lain, seorang kyai yang bijaksana akan selalu memberikan kesempatan kepada santrinya menjadi yang terbaik dan maju ke depan sebagai pemimpin.
Kebaikan dari tradisi kepemimpinan ini menjadi kunci strategis melahirkan pemimpin politik potensial di pesantren. Kemampuan memimpin salah satunya dipengaruhi bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain. Konteks ini menempatkan seorang calon pemimpin harus mampu menguatkan kompetensi diri, kemampuan beragama, pemahaman mengenai pentingnya integritas, menguatkan branding personal dan memahami bagaimana mengelola emosi publik. Sisi inilah membuat mereka sejatinya memiliki ajang berkompetisi secara fair play dalam posisi strategis di pesantren, yang kelak membentuk mereka menjadi pemimpin di masa depan.
Pemilihan Umum berorientasi kepada sirkulasi kepemimpinan yang ditandai proses yang baik, cara yang benar dan hasil yang fair sehingga menghasilkan keberkahan kehidupan kepemimpinan kelak. Konteks ini pembelajaran pemilu dapat disinergiskan antara Bawaslu dan budaya yang ada di pesantren. Perpaduan ini akan dipercaya mampu menghasilkan tradisi ilmiah, berfikir kritis, rasional dan senantiasa bertanggung jawab atas pilihan kepemimpinan yang disodorkan kepadanya. Kolaborasi ini juga sebagai bentuk partisipasi kearifan lokal dan budaya pesantren dalam mendukung perjalanan demokrasi khususnya kepemiluan di negeri ini.
Adanya keinginan tiga sadar kawal pemilu tentu berjalan dalam konteks wacana yang bersifat abstrak, tetapi sejatinya berangkat dari realitas. Keinginan menjawab realitas di masyarakat khususnya kalangan pesantren merupakan bentuk tanggung jawab sosial bersama antara Bawaslu dengan proses kemitraan bersama pesantren. Bagaimanapun perjalanan demokrasi negeri ini butuh kerjasama banyak kalangan agar memunculkan lebih banyak kesadaran bagaimana pentingnya menjaga pemilu agar tetap berjalan demokratis. Keinginan melahirkan pemimpin harus dibarengi proses yang baik dan cara yang benar, sehingga berujung legalitas yang kuat dan kepemimpinan yang berkah. Komunitas aktif seperti pesantren harus sejak dini digandeng elemen pengawas pemilu agar mereka menjadi salah satu garda terdepan dalam menumbuhsuburkan demokrasi dan terus aktif mengawal proses sirkulasi dan pembelajaran kepemimpinan politik di negeri ini.
*Inggar Saputra*
Pengajar Pancasila/Kewarganegaraan Universitas Mercubuana