Jakarta Journalpesantren.com Ramadhan sudah berakhir. Puasa resmi selesai. Setelah sebulan berjuang melawan makan dan minum. Kini kita masuk bulan Syawal. Lebaran sudah di depan mata. Ramadhan telah pergi. Apakah kita akan berjumpa lagi. Serahkan jawaban itu kepada Allah SWT saja. Sekarang kita menikmati saja hari Lebaran. Sebuah hari yang ditunggu. Hari kemenangan. Sebuah hari di saat kita sukses melalui madrasah Ramadhan. Sebulan penuh berpuasa. Saatnya kita menyambut kemenangan. Dan semoga kita layak mendapat gelar manusia bertaqwa.
Ada yang sibuk mudik. Sebagian sibuk beli baju lebaran untuk diri dan anaknya. Sebagian lagi bersiap masak ketupat. Tak ketinggalan emak-emak sibuk berebut kesempatan memasak daging. Opor ayam tak ketinggaln juga. Mereka semua bersuka cita. Menyambut lebaran yang sudah datang. Seolah lupa, harga minyak goreng masih mahal rupanya. Lupa juga harga tiket mudik pesawat kabarnya melambung tinggi. Benar kiranya sebutan itu. Manusia memang tempatnya lupa.
Inilah rutinitas manusia akhir zaman di penghujung musim Ramadhan. Semua terjebak dalam kesibukan dunia kembali. Seolah lupa dan kehilangan hakikat sejati Ramadhan. Sebuah bulan yang mendidik kita beribadah. Ibadah melawan hawa nafsu makan, minum dan lainnya. Dari terbit fajar, sampai terbenam mentari di kala senja. Kita pun tersentak sadar bagaimana memaknai puasa. Ternyata puasa hanya dipahami sekilas. Jelang Syawal, kita seperti kembali kehilangan kendali. Ada lebaran yang dimaknai mudik, ketupat, baju baru, THR dan lainnya. Entah apa kita masih ingat mengaji Al-Qur’an, shalat malam dan beragam pendidikan beribadah lainnya selama Ramadhan kemarin.
Satu yang kita perlu ingat. Tak boleh semua budaya baik di Ramadhan hilang. Kita tetap harus ingat ada yang tertinggal di Ramadhan. Coba ingat kembali bagaimana Ramadhan ini serba enak. Tak lagi ketakutan Covid-19 seperti musim sebelumnya. Mau shalat taraweh bebas di masjid. Syaratnya tetap jaga protokol kesehatan. Meski realitasnya, tak seindah kata soal prokes ini. Terlepas kondisi itu. Kita bersyukur bisa taraweh. Meski ada yang tak hilang keributan 8 atau 20 rakaat. Tapi itu soal lain. Lebih senang kita bisa taraweh. Ada makna bersyukur umat Islam kembali berkumpul di masjid. Merapatkan barisan di masjid. Berkumpul dalam syukur beribadah kepada Allah.
Makna berkumpul lebih penting. Sebab itu yang hilang satu sampai dua tahun terakhir. Persatuan itu juga yang muncul dalam budaya buka puasa bareng. Bayangkan betapa bersuka cita kita semua. Setelah ada kebebasan buka puasa bareng. Mendadak restoran dan rumah makan penuh. Kadang tak kebagian sesi pertama, harus menunggu sesi kedua. Meski rasanya hilang saja makna berbuka puasa. Sebab sesi kedua sudah selesai waktu maghrib. Tak usah sibuk memikirkan itu. Kembali ke tujuan berbuka puasa bareng. Silaturahmi lebih penting. Berkumpul untuk kebersamaan. Memperpanjang umur, melancarkan rezeki dan menambah persaudaraan.
Jangan lupa menceritakan budaya imsak. Kegiatan ini rutin setiap menjelang sahur. Mungkin tradisi ini hanya ada di Indonesia. Setiap menjelang Subuh, petugas masjid mengambil microphone. Membantu ingatkan jamaah untuk masuk waktu imsak. Ada yang sibuk bertanya, kalau imsak boleh makan atau tidak. Ada dalilnya tidak. Dan berbagai macam pertanyaan lain. Tapi lebih penting dari semua pertanyaan itu. Imsak mengingatkan kita. Selesaikan sahur Anda dan mari kita bersiap menunaikan shalat Subuh. Imsak itu alarm terbaik. Sebab kita diajak sahur, itu sudah ada satu pahala buat petugas masjid. Kita diajak menyiapkan diri shalat Subuh. Pahala petugas masjid tambah satu. Kita yang diingatkan pun selayaknya senang. Sebab tak semua orang mampu bangun untuk makan sahur dan subuh tepat waktu.
Paska Ramadhan, budaya membaca jangan sampai hilang. Ramadhan mengajarkan kita budaya membaca petunjuk Allah. Al-Qur’an dibaca sebagai aktivitas rutin. Selain bernilai ibadah, rutinitas membaca kitab suci menjadi awal. Awalan kita membaca alam melalui buku. Sebab Islam adalah agama yang mendidik kita jadi pembaca. Ayat pertama itu meminta kita banyak baca. Baca apa saja dalam kehidupan ini. Petunjuk ilahiah melalui kitab suci. Petunjuk duniawi melalui buku populer. Percayalah, orang membaca tak merugi. Sebab sarana ibadah, memperluas wawasan, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan sosial (IPTEKS). Sekaligus bagian dari pengembangan potensi diri, lingkungan, agama, bangsa dan negara. Jika selesai membaca Al-Qur’an, teruskan dengan baca ilmu pengetahuan populer. Makin banyak ilmu, pastilah Allah naikkan derajat kita di langit dan bumi.
Tidak berhenti dengan membaca. Sebab anda pasti merugi. Teruskan dengan menulis. Jangan membatasi menulis di komputer atau kertas. Menulis di media apapun, kapanpun dan dimanapun. Manfaatkan media sosial dengan tulisan kita. Sebarkan semangat kebaikan dan bangun semangat literasi anak bangsa. Jika mau buat status, buatlah status berkelas dan bermanfaat. Media sosial adalah sarana dakwah. Selama kita posting dengan cita rasa kebaikan. Hasilnya pasti positif bagi ketenangan jiwa. Jika ingin hatinya tenang. Manfaatkan media sosial dengan terapi menulis. Menulis dengan hati. Dengan kegembiraan. Ciptakan kebahagiaan diri dengan tulisan. Selayaknya kita butuh menulis. Untuk kebaikan diri dan orang lain.
Jangan beralasan anda sibuk. Allah itu maha baik. Setiap manusia diberikan waktu sama. Kesibukan berbeda, itu tugas anda mengatur waktunya. Jika tak sempat membaca dan menulis. Bangunlah malam. Kerjakan shalat malam. Setelah selesai, bacalah Al-Qur’an. Kemudian baca buku populer sekitar 10-20 menit. Syahdu saat shalat malam. Keindahan bacaan dalam firman Tuhan. Hasil membaca buku. Semua itu gabungkan dan tuliskan. Kita nikmati dan ciptakan tulisan hasil perenungan mendalam. Hasil refleksi lahir dan batin. Percayalah, Allah itu Maha Baik. Budaya saat malam ini jangan ditinggal. Setelah Ramadhan, Anda bisa melanjutkan dan mengembangkan sesuai kebutuhan.
Ini hanya catatan sekilas saja. Tentu banyak sekali budaya di bulan Ramadhan yang masih layak ditulis. Tapi bukan semata dituliskan. Apalagi hanya dikenang. Budaya positif itu harus tetap dilanjutkan. Kita layak percaya, tak ada kesuksesan terjadi sehari. Kita sudah mendapatkan Ramadhan sebagai hadiah terindah. Hakikat Ramadhan adalah madrasah tempat kita dididik dan belajar. Pendidikan untuk menghadapi sebelas bulan berikutnya. Belajar menumbuhkan budaya positif penuh hikmah dan kebaikan. Tugas kita paska Ramadhan, lanjutkan budaya terbaik itu. Jangan biarkan budaya baik itu dikenang semata. Sekarang kembali kepada Anda. Mau melanjutkan atau berhenti sampai akhir Ramadhan saja. Selamat tinggal Ramadhan. Selamat datang Idul Fitri..(9/5/2022).