Diera 70-an Jauh sebelum terbangun, tempat cikal bakal Darul-Ulum (desa Tanjung Harapan SB. VI) merupakan daerah pusat bercokolnya maksiat. Judi, adu ayam, bentrokan, merupakan aktifitas yang rutin dilakukan ditempat tersebut. Kehidupan keberagamaan pada saat itu merupakan sesuatu yang masih langka. Aktifitas agama masih sebatas ibadah di beberapa rumah saja, tidak lebih. Pendidikan yang ada pada saat itu berupa Lembaga Pendidikan Ma’arif yang lebih konsen pada pembelajaran ilmu umum, Karena mayoritas masyarakat setempat hanya memperhatikan pendidikan formal dari pada pendidikan agama. Hal tersebut membuat para sesepuh Ma’arif merasa perlu adanya sentuhan ilmu agama yang mampu merubah kondisi yang masih krisis religi.
Adalah Mbah Suwandi, salah satu tokoh sesepuh yang merasa bertanggung jawab atas kondisi tersebut, bertandang kepada beberapa kiyai sepuh di pulau Jawa guna mengadukan permasalahan daerah beliau yang sedang krisis moral. Diantara kiyai yang beliau sowani adalah Kiyai Dahnan dari Trenggalek Jawa Timur. Dari kunjungan tersebut Kiyai Dahnan hanya memberi dawuh bahwa satu tahun lagi Insya Allah ada gambaran. Dan benar saja setahun kemudian mbah Suwandi mendapat mimpi yang mengisyaratkan apa yang didawuhkan Kiyai Dahnan setahun lalu itu. Dalam mimpinya beliau melihat sosok yang dikemudian nanti akan membawa secercah harapan baru di SB V 2. Sosok yang ada dalam mimpinya sangat persis dengan ciri-ciri yang disebutkan Kyai Dahnan, yakni figur lelaki separuh baya, berperawakan kecil dan tidak terlalu tinggi.
Setelah sowan pada kyai sepuh, mbah Suwandi juga masih berupaya mencari seorang pemimpin yang nantinya mampu menggawangi agama di daerah SB VI. Beliau sempat berpesan pada saudaranya yakni bapak A bdib Ihsan”, “tolong kalau ada teman di Jawa, diajak berjuang di Lampung untuk mendirikan madrasah diniyah!”. Begitu pesan mbah Suwandi, dan agaknya pak Adib menyanggupinya.
Sebenarnya pada saat itu telah ada beberapa figur yang mulai menggelar perjuangan di daerah SB VI, namun banyak dari mereka yang gagal sebelum berkiprah. Seringkali mereka hanya bertahan beberapa bulan saja dan kembali kedaerah masing-masing sebelum memulai apapun. Hal itu telah diketahui oleh sesepuh dari Telukdalem Rumbia yakni mbah Yahi Ihsan yang mengatakan bahwa memang dari mereka belum ada yang cocok untuk menebar perjuangan di Seputih Banyak.
Setelah beberapa waktu, tepatnya dibulan Dzulhijjah 1412 H./1992 M., seperti yang telah beliau janjikan, pak Adib datang bersama salah seorang kawannya yang nanti akan ditanam didaerah tersebut. Ia adalah lelaki paruh baya beranak satu bernama Fathul Mujib yang berasal dari desa Bendosari Pujon Malang. untuk pertama kalinya mereka datang ke sumatera guna melihat lokasi yang nantinya akan dibangun sebuah madrasah diniyyah. Kondisi tempat yang pertama kali mereka lihat adalah hamparan lahan bersemak sepi yang dikelilingi perkebunan singkong. Pada waktu itu hanya ada tiga rumah disekelilingnya itupun hanya satu yang lumayan dekat. ” bila malam tiba keadaan tempat tersebut terasa senyap dan sintrung (angker), masih banyak sekali hewan-hewan liar bahkan makhluk astral (gaib) yang berkeliaran ditempat itu, seringkali terdengar suara tangisan bayi dari arah sekolah Ma’arif yang berhadapan langsung dengan lahan calon madrasah tersebut. Pak Mujib pun sempat ragu dan gamang akan tinggal ditempat itu, namun semua bayangan itu ia tepis, karena belum tentu segala sesuatu yang dibenci adalah buruk, bahkan siapa tahu justru kelak hal itulah yang menjadi sebab keberkahan yang begitu besar.
Akhirnya mereka berdua tinggal di Sumatera selama kurang lebih satu minggu. Selama waktu tersebut mereka menginap dirumah orang tua pak Adib, yakni mbah Yahi Ihsan di desa Rejo Asri Lampung Tengah. Dan Setelah kunjungan dirasa cukup, mereka kembali lagi ke Jawa.
Delapan bulan kemudian, setelah kunjungan pertama di Sumatera, yakni pada tanggal 16 Pebruari tahun 1992 M./ 12 bulan Sya’ban 1412 H., menjelang pemilu bertepatan hari Ahad Kliwon, datanglah pak Adib bersama pak Mujib beserta istri dan anaknya yang masih berumur dua tahun di tanah Andalas, mereka juga ditemani salah seorang sahabat pak Mujib yakni pak Imam dari Badas Kediri Jatim.
Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh mbah Suwandi dikediamannya yang terletak dikompleks timur pasar Seputih Banyak. Pada malam pertama mereka menginap dirumah mbah Suwandi, dan untuk malam selanjutnya mereka diputuskan tinggal dirumah mbah H. Harjo yang hanya ditempati berdua saja dengan istrinya. Selain karena rumah beliau tidak terlalu jauh dari rumah mbah Suwandi (kurang lebih 500 Km), juga karena rumah tersebut lebih sering ditinggalkan siempunya, jadi sangat kebetulan sekali bila rumah tersebut ada yang menempati. Sedangkan pak Adib dan pak Imam sesekali masih pulang ke RA (Rejo Asri).
Hari pertama tinggal di rumah baru, pak Mujib sudah memulai pengajian yang diikuti 3 anak dari desa sekitar. Pengajian yang diberikan adalah ilmu fiqih dasar yakni kitab al-Mabadi al-Fiqhiyah. Pengajaran masih fokus pada aspek ‘ubudiyah dan praktik ibadah sehari-hari. Meski dengan jumlah santri yang masih sedikit dan prasarana seadanya, aktifitas belajar mengajar sudah bisa dilaksanakan.
Aktifitas belajar dimulai pada malam hari selepas Maghrib. Sedangkan pada pagi hari nya digunakan untuk belajar al Qur’an dan sorogan kitab-kitab fiqh Dasar seperti al-Mabadi al Fiqhiyah dan belajar menulis pegon.
Setelah sebulan berada di Sumatera, tepatnya di bulan Ramadhan, alhamdulillah telah ada tiga anak yang bermukim di kediamaan mbah Harjo guna ikut belajar bersama pak Mujib, Meski kondisi belajar masih seadanya, hanya ditemani pendar lampu teplok dan sebuah dampar sederhana.
Disela-sela Aktifitas belajar mengajar, pengasuh juga menyempatkan diri ikut berpartisipasi dengan masyarakat, namun hal itu lebih banyak dilakukan oleh bu Lihah yang memang lebih mudah berbaur dengan masyarakat sekitar, semisal ketika ada kegiatan yasinan, pengajian rutinan dll. Hal itu dilakukan semata-mata bertujuan agar terjalin hubungan yang harmonis antara pengasuh, santri, dan masyarakat sekitar.
Selang setengah bulan, dimulailah pembangunan pondok sebagai tempat mukim dan sarana belajar santri. Dibangunlah lokal sederhana seluas 7:30 m dengan empat buah kamar, satu ruang untuk kamar putra, satu kamar untuk santri putri, satu lagi untuk tempat tinggal K. Mujib sendiri, dan satu ruang yang memisah antara kamar putra dan putri masih kosong. Untuk sholat berjamaah mereka masih menggunakan ruangan yang ada karena belum punya musholla sendiri. Bila kang-kang santri akan melaksanakan Jum’atan, mereka harus berjalan kaki kurang lebih 500 m menuju masjid Nurul Iman di timur pasar.
Setelah tinggal selama tiga bulan setengah di kediaman Mbah H. Harjo, akhirnya tepat pada tanggal 1 malam 2 Dzulhijah 1412 H./3 Juni 1992 M., hari Rabu Pon,” keluarga Yahi Mujib beserta santri yang ada pindah ke padepokan baru. Dan Lambat laun jumlah santri semakin bertambah, ada sekitar 25 anak yang mukim dan nduduk ikut belajar dengan Yai Mujib.
Selain Kiyahi Mujib dan ibu Lihah sebagai tenaga pendidiknya, mereka dibantu pula oleh pak Adib, pak Imam, pak ‘Imron, dan pak Thohir (guru Qiro’ dan sholawat).
Pada tahun 1994 ketika santri bertambah banyak, datanglah bapak Luqmanul Hakim”, adik pertama bu Lihah dari perantauan ilmunya di daerah Nganjuk Jawa Timur. Beliau diutus pak Nur wahid ke Sumatera untuk menemani bu Lihah membantu mengelola pendidikan. Fak durus yang beliau pegang antara lain bidang alat (nahwu), fiqh, dan balagboh. Sedangkan diluar jam sekolah beliau menyimak sorogan al qur’an bagi santri putra.
Hingga saat ini jumlah Pondok Pesantren Darul ‘Ulum yang mencapai 1500 semoga kelak menjadi generasi penerus islami yang mampu memperjuangkan agama Alloh SWT.