journalpesantren.com Beberapa pekan terakhir, gejolak pemilu presiden semakin memanas ditandai kampanye akbar dalam konteks di eliter politik peserta pemilu presiden 2024. Setiap tim sukses mengeluarkan jurus terbaiknya agar kampanye berjalan dengan kerumunan massa yang banyak dan terasa meriah meski secara narasi kehilangan isinya. Mengapa? Sebab jarang terlihat konten kampanye yang menjual visi misi kandidat, dan lebih sibuk menjual lipstik politik sebagai usaha merebut hati rakyat. Bukan menciptakan sebuah kondisi yang mencerdaskan pendidikan politik untuk rakyat.
Di tengah keriuhan kampanye, tanpa ada angin dan badai sekalipun justru teriakan moralitas dan tekanan politik muncul dari unsur kampus. Tetapi alih alih mendorong isu moralitas dan etika, justru terjebak kepada politik praktis sebab terasa sekali tekanan diarahkan kepada pasangan tertentu yang dinilai mendapatkan dukungan kekuasaan. Segelintir pemikir berlabel professor dan guru besar secara mendadak tiba-tiba berteriak mengkritik kekuasaan dengan melabelkan secara terang-terangan ketidaksukaannya kepada nama pemimpin yang berkuasa. Jika yang dikritik adalah kebijakan atas kekuasaanya kita masih maklum adanya, tetapi jika sudah menyerang juga kebijakan personal tertentu dan dikaitkan dengan wacana yang memojokkan pasangan capres cawapres tertentu, kita layak curiga ada motif apa di balik suara dari kampus?
Apalagi diketahui tekanan muncul dari segelintir pemikir kampus Apakah memiliki afiliasi kepada pasangan calon tertentu atau tidak menjadi sebuah tanda tanya. maka berkembang pemikiran apakah ini murni suara akademisi atau settingan menyudutkan pasangan calon tertentu? Apalagi secara nyata kritik hanya disampaikan yang tidak mewakili unsur stakeholders kampus seperti mahasiswa, jadi upaya yang justru terlihat para akademisi berlabel dosen ini ikut-ikutan berpolitik praktis. Jika itu benar, tentu sangat disayangkan para dosen di kampus yang selalu mengajarkan idealisme kepada mahasiswa agar mengkritik kebijakan penguasa, justru yang dilabelling buruk personal penguasa bukan kebijakan penguasa itu sendiri. Lebih mengherankan, kritik dari kampus muncul belakangan secara keras sehingga opini yang berkembang para dosen di kampus hanya ikut meramaikan suhu politik yang memanas jelang pencoblosan tanpa adanya keseriusan memberikan kritik dan masukan konstruktif atas kekuasaan yang mereka anggap salah.
Selain itu, bahasa deklarasi kritik juga terlihat tak mencerminkan unsur civitas akademis yang memaparkan bukti, data dan fakta ilmiah terhadap unsur yang dikritik. Justru bahasa rilis yang dipakai tak lebih upaya mendorong agar ada tekanan terhadap pasangan calon tertentu. Melihat itu semua, sebagai seseorang yang pernah merasakan atmosfer kampus, sungguh disayangkan bahwa kampus di pilpres 2024 ini dijadikan alat berpolitik praktis. Sehingga nilai-nilai ilmiah, kritik konstruktif dan keadilan menyampaikan kritik terhadap kebijakan justru hilang digantikan dorongan kritik tanpa subtansi ilmiah yang terlihat sekali condong kepada personal tertentu.3/2/24 oleh inggar Saputra Pemikir Akademisi ( JP